Petani Singkong Lampung Tengah Teriakkan Ketidakadilan Harga: Perusahaan Abaikan Kebijakan Pemerintah

Petani Singkong Lampung Tengah Teriakkan Ketidakadilan Harga: Perusahaan Abaikan Kebijakan Pemerintah

Selasa, 21 Januari 2025, 10:46

Lampung Tengah, 21 Januari 2025 – Para petani singkong di Kabupaten Lampung Tengah semakin tertekan akibat rendahnya harga jual singkong yang ditetapkan oleh sejumlah perusahaan tapioka. Kondisi ini diperparah dengan tingginya potongan refaksi yang mencapai hampir 30%, sehingga hasil panen yang mereka perjuangkan selama 8-9 bulan hanya memberikan keuntungan yang sangat minim. Padahal, pemerintah telah menetapkan kebijakan melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) tanggal 23 Desember 2024 dan Surat Edaran Gubernur Nomor 7 Tahun 2025 yang mengatur harga singkong sebesar Rp1.400 per kilogram dengan refaksi maksimal 15%.  

Namun, beberapa perusahaan justru menerapkan kebijakan yang menyimpang. PT Umas Jaya Agrotama, misalnya, hanya menerima singkong dengan kadar rendemen di atas 24% dengan harga Rp1.400 per kilogram. Kebijakan ini membuat banyak petani yang hasil panennya tidak memenuhi syarat terpaksa menjual ke perusahaan lain dengan harga jauh di bawah standar. Sementara itu, CV Gunung Sugih menawarkan harga Rp1.320 per kilogram, tetapi memotong refaksi hingga 29%. Pabrik Tapioka Bangun Makmur, yang berlokasi di Desa Sriwaluyo 2, Buyut Ilir, Kecamatan Gunung Sugih, bahkan menetapkan harga lebih rendah, yakni Rp1.270 per kilogram, dengan potongan refaksi mencapai 32%.  

Fadri, seorang petani sekaligus anggota Persatuan Petani Ubi Kayu Indonesia (PPUKI) Lampung Tengah, mengungkapkan bahwa kondisi ini sangat merugikan petani. Biaya produksi, perawatan, pemupukan, dan transportasi yang menghabiskan hampir 30% dari total pendapatan membuat keuntungan yang diterima petani menjadi sangat kecil. Bahkan, setelah dipotong refaksi yang tinggi, petani hanya mampu membawa pulang sekitar 30% dari hasil panen mereka. "Kami sangat kesulitan. Pendapatan ini jelas tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup, terutama karena panen singkong hanya dapat dilakukan 8-9 bulan sekali," keluhnya.  

Lebih lanjut, Fadri menyoroti ketimpangan keuntungan yang didapat perusahaan dibandingkan petani. Perusahaan yang hanya menyediakan jasa pengolahan bisa mendapatkan keuntungan hingga 30%, sementara tidak ada investasi langsung atau dukungan modal yang diberikan kepada petani.  

Para petani kini mendesak pemerintah untuk menegakkan peraturan yang ada dan menindak perusahaan yang melanggar ketetapan harga. Mereka berharap ada pengawasan lebih ketat agar kebijakan yang berpihak pada kesejahteraan petani dapat terlaksana dengan baik. Masalah ini menjadi peringatan serius bahwa perlindungan terhadap petani harus menjadi prioritas demi menjaga ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat.

TerPopuler