Lampungterdepan.com - Ketua Bidang Aksi dan Pelayanan GMKI Bandar Lampung Annes Sihombing menyesalkan ditundanya pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).
“Saya protes dengan keputusan ini. Saya menilai pembahasan RUU itu seharusnya mudah, terlebih jika ada kesepahaman mengenai urgensi masalah kekerasan seksual. Menunda pembahasan hanya menunjukkan bahwa para wakil rakyat tak paham bahwa ini adalah masalah genting. Ada banyak alasan untuk mendorong DPR segera mengesahkan RUU PKS. Salah satunya, belum ada peraturan perundang-undangan yang memadai terkait kekerasan seksual,” kata Annes Sihombing.
“Saat ini, dalam menangani tindak pidana kekerasan seksual, aparat penegak hukum hanya menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sedangkan KUHP hanya mengatur kekerasan seksual berupa perkosaan dan pencabulan. RUU PKS cakupannya lebih luas karena memuat 9 bentuk kekerasan,” tegasnya.
RUU PKS juga, lanjut Annes, mengatur pidana pokok berupa rehabilitasi khusus kepada pelaku yang tidak diatur dalam KUHP. Selain itu, RUU PKS mengatur upaya pencegahan kekerasan seksual di berbagai sektor, diantaranya yaitu infrastruktur, pelayanan dan tata ruang, pendidikan, tata kelola kelembagaan pemerintah, ekonomi, sosial dan budaya.
Catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2020 menyebutkan, terjadi 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani sepanjang tahun 2019. Angka tersebut naik 6 persen dari tahun sebelumnya yang berjumlah 406.178.
“Jika DPR merasa bahwa pembahasan RUU PKS ini sulit, Saya meminta supaya para akademisi dan masyarakat sipil dilibatkan dalam prosesnya. Ada banyak jaringan masyarakat sipil yang sangat konsen membahas RUU PKS. Mereka tidak harus menunggu istri, anak perempuan, saudara perempuan jadi korban dulu untuk menyadari bahwa permasalahan kekerasan seksual itu nyata dan harus segera ditangani,” tambahnya.